Jangan Tunda, Tangkap dan Segera Proses
Manado – Aktivis anti korupsi dan praktisi hukum menilai, tak ada aturan yang dapat dijadikan dasar alasan bagi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menunda seluruh proses pemeriksaan atas laporan pidana terhadap Wenny Lumentut.
Mereka berpandangan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 ini tidak dapat dijadikan dasar atau penghalang bagi Bareskrim menunda proses suatu kasus, dan wajib menuntaskan semua kasus yang terindikasi pidana umum maupun khusus, hingga ke tahapan persidangan.
Pandangan ini dikemukakan Stenly Towoliu, Ketua Masyarakat Jaring Koruptor Sulut (MJKS), dua praktisi hukum Sulawesi Utara, masing-masing Jehezkiel Subari, SH, MH, dan Stardo Mait, SH, MH.
Ketiga tokoh ini dimintakan pendapatnya menyangkut dua surat permohonan perlindungan yang dilayangkan Wenny Lumentut ke institusi Polri dan beberapa lembaga negara lainnya di Jakarta. Sebelumnya Wenny Lumentut telah dilaporkan pidana oleh Dra. Joulla Jouverzine Benu, baik ke Polda Sulut maupun Bareskrim Mabes Polri.
Menurut Jehezkiel Subari, SH, MH, Bareskrim sebagai organ negara, sebagai institusi penegakan hukum di Indonesia, berfungsi memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
“Oleh karena itu, sudah selayaknya dan sepatutnya Bareskrim tetap menjalankan alur serta proses penegakan hukum itu bagi siapapun, termasuk terhadap peserta Pilkada 2024 sekalipun,” paparnya dalam perbincangan Sabtu (15/6/2024).
Menurutnya, Bareskrim harus menjadikan proses pemeriksaan terhadap Wenny Lumentut ini sebagai momentum penegakan yang transparan, profesional, proposional dan berkeadilan untuk mencegah terjadinya politisasi kasus, sesuai visi Polisi yang Presisi sebagaimana dicanangkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Inilah momentumnya agar hukum dijadikan sarana utama untuk mengantisipasi agar tak ada calon pejabat publik yang track recordnya buruk, khususnya mereka yang terindikasi masalah pidana,” tambah pengacara yang dikenal dengan panggilan Jes ini.
Sementara, Stardo Mait, SH, MH, praktisi hukum lainnya lebih menekankan pandangannya pada prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law). “Bahwa siapapun yang berhadapan dengan permasalahan hukum, khususnya dalam tahapan penyelidikan atau penyidikan, tetap harus dikedepankan prinsip bahwa setiap orang mempunyai bobot yang sama, dengan pengertian tidak ada yang mendapat perlakuan istimewa,” beber advokat Peradi asal Kota Tomohon ini.
Dengan menerapkan prinsip seperti itu, kata dia, proses hukum yang sedang berjalan itu dapat cepat diselesaikan, dalam arti semakin cepat proses hukum itu diikuti semakin cepat pula menghasilkan kepastian untuk individu yang berhadapan dengan proses tersebut.
“Jika proses hukumnya berlarut-larut, justru hal ini merugikan pemilih tokoh yang ikut pencalonan dan kemudian terindikasi masalah hukum. Artinya, jangan nanti setelah keluar hasil pilkada dan ternyata calon tersebut memang betul bermasalah, maka yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri karena ternyata yang dipilih adalah calon bermasalah dan negara juga dirugikan karena biaya pilkada yang dikeluarkan tidak sedikit, apalagi hanya untuk memilih calon yang tidak dapat menjalankan tugas jika memang terbukti ada permasalahan hukum,” urai Stardo Mait, SH, MH.
Lagi pula, tegasnya, secara teoritis dan konseptual, apa hubungannya pilkada dengan penegakkan hukum sehingga urgen untuk didahulukan proses pilkadanya? “Kan Indonesia ini negara hukum,” tambahnya.
Ketua MJKS Stenly Towoliu yang dihubungi terpisah bereaksi lebih keras lagi soal adanya dua surat Wenny Lumentut itu. “Sejak awal saya kan sudah desak Bareskrim supaya tangkap saja Wenny Lumentut,” kata dia yang meyakini indikasi adanya perbuatan pidana telah terpenuhi.
Menurutnya, status pencalonan Wenny Lumentut di KPU belum resmi sebagai calon, karena tahapan tersebut nanti pada bulan September. “Dengan demikian, Bareskrim harus mengabaikan surat (Wenny Lumentut) itu karena statusnya hanya sebagai warga biasa saja. Tak perlu diistimewakan, tangkap saja,” tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya Wenny Lumentut menyurat ke pimpinan Polri agar proses pemeriksaannya di Bareskrim ditangguhkan, karena sedang mengikuti tahapan Pilkada.
Itu adalah surat kedua Wenny Lumentut berkaitan dengan pelaporan dirinya oleh Dra. Joulla Jouverzine Benu ke Bareskrim. Surat pertamanya yang juga berkaitan dengan laporan pidana baik di Polda Sulut maupun Bareskrim itu, berupa permohonan perlindungan yang ditujukan ke Kapolri dan sejumlah lembaga di Jakarta
Informasi tentang adanya surat kedua Wenny Lumentut ini disampaikan Vega Alva Wauran, SH, salah satu kuasa hukum Benu, pada Jumat (14/6/2023).
Saat dihubungi lagi Sabtu (15/6/2024) dia mengungkapkan surat kedua Wenny Lumentut tersebut bertanggal 10 Juni 2024 dengan tiga berkas lampiran.
Sementara, Heivy Mandang, SH, yang coba dikonfirmasi yang dikonfirmasi Jumat (14/6/2024) sore melalui nomor telepon 08219307***0 sempat menerima panggilan. “Sebentar ya, nanti saya hubungi lagi,” katanya. Namun, hingga kini dia tak menelepon lagi.(dki)