Siklus-Indonesia.Id, Gorontalo – Siapa yang tak ingin hidup dalam damai, dikelilingi udara bersih, air jernih, tanah subur, dan hutan yang meneduhkan? Tapi siapa pula yang bisa menolak kebutuhan ekonomi, apalagi dalam kondisi kehidupan yang makin keras dan peluang yang makin sempit?
Beberapa hari kami berada di Desa Iloheluma, sebuah desa kecil yang bertetangga langsung dengan Desa Balayo di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Di Balayo kini berdiri bangunan besar yang menyimbolkan negara, Lembaga Pemasyarakatan Pohuwato. Tapi beberapa ratus meter dari sana, berdiri juga kenyataan lain yang tak kalah keras, aktivitas tambang emas tanpa izin (PETI) yang terus menggali bumi tanpa ampun.
Di Iloheluma, sebuah aktivitas “survei lokasi” sedang berlangsung. Sekilas terdengar seperti bagian dari penelitian ilmiah atau rencana pembangunan. Tapi bukan. Survei di sini adalah kegiatan kolektif warga yang datang ke lahan kosong, lalu membaginya menjadi petak-petak tak resmi, untuk kemudian digarap secara perorangan dalam praktik tambang ilegal. Tak ada peta, tak ada izin, tak ada negara. Hanya garis imajiner yang menjadi batas klaim atas tanah. Di sinilah tambang emas pribadi akan dibuka untuk “kesejahteraan”,”katanya.
Pertanyaannya, benarkah ini demi kesejahteraan? Atau ini hanyalah jalan pintas penuh risiko, karena tak ada jalan lain yang tersedia?
“Antara Alam yang Digali dan Perut yang Kosong”
Kami tak ingin gegabah menilai. Sebab kami pun melihat dan mendengar langsung bagaimana warga bicara tentang ekonomi mereka. Tak mudah hidup di desa, apalagi di tengah sistem yang tak berpihak. Harga kebutuhan pokok naik. Lahan semakin sempit. Lapangan kerja nyaris tak ada. Sementara di hadapan mereka, emas adalah harapan yang mengilap, bisa digali langsung, dijual, dan dikonversi menjadi beras, uang sekolah, motor, bahkan rumah. Cepat, nyata, dan instan.
“kami tidak dapat menunggu negara dengan tenang sementara perut anak istri kami kelaparan,” kata seseorang dengan nada pahit, tapi jujur.
Di sisi lain, kami pun menyaksikan kerusakan yang nyata, bukit-bukit dikuliti, sungai-sungai keruh dan perlahan mati, lubang-lubang menganga, dan vegetasi yang lenyap. Apa yang dulunya hijau, kini coklat dan tandus. Apa yang dulunya hidup, kini hanya meninggalkan jejak.
“Ironi di Balik Kompleks Lapas”
Lebih ironis lagi, tambang emas ilegal itu berlangsung di sekitar kompleks Lapas Pohuwato. Di satu sisi, negara menghadirkan bangunan hukum dan penegakan aturan. Di sisi lain, tambang ilegal justru tumbuh subur di sekitarnya. Seolah-olah negara hadir secara simbolik, tapi absen secara fungsional. Penjara berdiri, tapi hukum tak menyentuh para penggali emas. Atau mungkin hukum hanya menyentuh mereka yang kalah kuasa?
Kita seperti dihadapkan pada dua realitas yang saling bertolak belakang tapi hidup berdampingan. Negara ada, tapi tak hadir. Rakyat hidup, tapi harus bertarung dengan tanahnya sendiri.
” Sisi Terdalam”
Kami tak hendak menyalahkan siapa-siapa. Kami juga tak ingin mengglorifikasi siapa-siapa. Tapi ada satu pertanyaan yang menggantung di kepala kami sejak menyaksikan semuanya, sejauh apa manusia boleh merusak alam demi mengejar kesejahteraan? Apakah kita tengah menjadi kapitalis yang kebablasan, yang menghalalkan segala cara asalkan bisa bertahan dan tumbuh? Apakah pertumbuhan ekonomi harus selalu berbanding lurus dengan kematian ekologis?
Pertambangan, apapun bentuknya, legal atau ilegal, sangat merusak. Sawit juga. Jagung juga. Bahkan pertanian konvensional sekalipun bisa menjadi mesin destruksi jika dilakukan tanpa pertimbangan ekologis. Tapi pada saat yang sama, semua itu juga membuka jalan ekonomi, mempercepat transaksi, dan memperkuat daya beli masyarakat. Sebuah paradoks yang tak mudah dibelah.
Sebagian orang yang kami temui bahkan berkata: “Lebih baik mati tertimbun tanah daripada mati kelaparan.” Itu adalah logika hidup yang menyayat. Bagi mereka, risiko lingkungan adalah harga yang harus dibayar untuk menyambung hidup. Tapi benarkah tak ada jalan lain? Ataukah kita memang sedang kehilangan arah karena negara gagal memberi alternatif?
“Jalan Buntu atau Jalan Baru?
Kemana arah pembangunan di tempat seperti ini? Jika negara membiarkan tambang ilegal sebagai satu-satunya jalan keluar, bukankah itu artinya negara diam-diam ikut melegitimasi kerusakan lingkungan? Tapi jika tambang ditertibkan tanpa solusi ekonomi alternatif, bukankah itu juga sama saja membunuh masyarakat pelan-pelan?
Maka kami ingin bertanya, bukan menyimpulkan, apakah yang kita kejar selama ini adalah pertumbuhan ekonomi atau kemanusiaan? Apakah kita cukup puas jika ada warga yang bisa membeli motor baru dari hasil tambang, tapi anak-anak mereka tak lagi punya tanah yang subur untuk ditinggali 20 tahun ke depan?
Apa makna kemajuan jika tanah yang diinjak sudah tak lagi subur? Apa gunanya uang, jika air bersih pun tak bisa ditemukan? Lalu siapa yang akan bertanggung jawab ketika bumi ini akhirnya habis?
” Kami Ajak Anda Berdiskusi”
Kami tidak membawa jawaban. Kami justru membawa pertanyaan. Karena pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh satu kepala saja. Ini harus menjadi ruang diskusi kita bersama: antara warga, aktivis, pemerintah, mahasiswa, tokoh agama, anak muda, dan siapa pun yang masih peduli pada bumi ini.
Apakah kita akan terus membiarkan tambang ilegal tumbuh, karena ia menjadi satu-satunya jalan ekonomi rakyat? Ataukah kita akan menutupnya, tapi juga menghadirkan alternatif yang konkret dan adil? Apakah kita mau menyusun ulang peta pembangunan yang berbasis pada keadilan ekologis, ataukah kita tetap puas dengan pertumbuhan yang menindas keberlanjutan?
Apakah kita ingin menjadi generasi yang dikenang karena menggali emas, atau generasi yang dihargai karena menjaga tanah?
Kami percaya bahwa masa depan Pohuwato bukan hanya milik hari ini, tapi juga milik generasi besok. Maka marilah kita bertanya dengan sungguh-sungguh: di titik ini, kita mau ke mana?
Kita telah melihat apa yang terjadi. Sekarang, saatnya berpikir dan menentukan arah.
Bukan untuk menyalahkan. Tapi untuk menyelamatkan.
Berdaya-bersama dengan alam, bukan di atas kehancurannya.
Sumber : Harun Alulu.
Ketua Umum KPMIP Kab. Gorontalo.