Oleh : Jhojo Rumampuk | Ketua DPD PJS Prov. Gorontalo
Kasus penistaan profesi, pencemaran nama baik, dan fitnah yang diduga dilakukan oleh Rum Pagau terhadap salah satu jurnalis di Boalemo telah menimbulkan polemik serius, terutama terkait kinerja penyidik di Polres Boalemo dan Polda Gorontalo.
Dugaan adanya kesengajaan dari pihak penyidik dalam menangani kasus ini semakin memperkeruh situasi, memicu kekhawatiran tentang integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum di daerah tersebut.
Tindakan DPD Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Provinsi Gorontalo dan salah satu jurnalis Boalemo, Rein Daima, yang berencana melaporkan dugaan pelanggaran kode etik oleh penyidik ke Mabes Polri, merupakan langkah yang mencerminkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap proses hukum di tingkat lokal.
Ketidakpercayaan ini berakar dari pandangan bahwa aparat penegak hukum mungkin tidak menjalankan tugas mereka secara independen dan profesional, terutama ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki pengaruh atau kekuasaan.
*Etika dan Profesionalisme Polri di Persimpangan*
Dalam setiap kasus hukum, khususnya yang melibatkan penistaan dan pencemaran nama baik, etika dan profesionalisme penyidik menjadi faktor kunci yang menentukan keadilan.
Dugaan bahwa ada penyidik yang sengaja menghambat atau tidak serius dalam menangani kasus ini bukan hanya mencoreng nama baik institusi kepolisian, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum secara keseluruhan.
Jika penyidikan dipengaruhi oleh kepentingan tertentu atau terjadi pembiaran, maka keadilan tidak akan tercapai, dan hak-hak korban tidak akan terlindungi.
Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyidikan harus menjadi prioritas utama, terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut kehormatan profesi dan reputasi individu.
*Dampak Buruk bagi Kebebasan Pers*
Bagi jurnalis dan media, kasus ini bukan sekadar masalah pribadi, tetapi juga menyangkut kebebasan pers dan hak untuk menjalankan profesi tanpa takut akan intimidasi atau pencemaran nama baik.
Dugaan kesengajaan dalam penanganan kasus ini bisa dilihat sebagai bentuk pembungkaman terhadap pers, yang seharusnya berfungsi sebagai pilar demokrasi dan pengawas jalannya pemerintahan serta hukum.
Jika dugaan ini benar, maka ini adalah preseden buruk yang dapat menimbulkan ketakutan di kalangan jurnalis dan menghambat mereka dalam melaksanakan tugasnya dengan bebas dan tanpa tekanan.
Kebebasan pers harus dilindungi, dan aparat penegak hukum wajib memastikan bahwa setiap kasus yang melibatkan jurnalis ditangani dengan adil dan transparan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pengawasan yang lebih ketat dari pihak yang berwenang, termasuk Mabes Polri. Jika memang ditemukan adanya pelanggaran kode etik atau penyalahgunaan wewenang oleh penyidik, maka tindakan tegas harus diambil untuk memulihkan kepercayaan publik.
Komunitas jurnalis, harus terus bersuara dan mengawasi jalannya proses hukum, memastikan bahwa keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Hanya dengan demikian, penegakan hukum dapat dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan integritas, dan kepercayaan publik terhadap aparat hukum dapat dipulihkan.
Dugaan kesengajaan oleh penyidik dalam kasus penistaan profesi dan pencemaran nama baik ini mencerminkan tantangan serius terhadap integritas dan profesionalisme penegakan hukum di Gorontalo. Jika dibiarkan, hal ini akan merusak kepercayaan publik dan memperburuk citra institusi kepolisian. Oleh karena itu, pengawasan yang ketat dan tindakan tegas sangat diperlukan untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan.