Thu. Oct 2nd, 2025

Siklus-Indonesia.Id, Gorontalo – Hangat – hangatnya isu pergantian KAPOLRI mendapat dukungan dari DPC PERMAHI Gorontalo. Hal ini bukan hanya sekedar dorongan ikut – ikutan melainkan KAPOLRI Tidak mampu menyelesaikan Dugaan Kasus TPPO Perguruan Tinggi Pada Tahun 2024.

Kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berkedok program magang Ferienjob ke Jerman yang menyeret ratusan mahasiswa dari lebih 30 perguruan tinggi adalah cermin buram lemahnya tata kelola pendidikan tinggi dan pengawasan negara terhadap mobilitas mahasiswa ke luar negeri.

Alih-alih memberi kesempatan belajar lintas budaya, program yang dijual sebagai “magang internasional” justru berubah menjadi ajang eksploitasi. Lebih dari seribu mahasiswa dilaporkan menjadi korban, harus bekerja kasar di sektor industri dan pertanian, bahkan menanggung hutang akibat biaya keberangkatan yang tidak transparan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana jargon internasionalisasi kampus dapat dimanfaatkan oleh oknum untuk keuntungan ekonomi semata, dengan mengorbankan keselamatan dan masa depan generasi muda.

Sahrul Lakoro Ketua Umum DPC PERMAHI Gorontalo Menjelaskan Mengapa KAPOLRI Perlu di PTDH (Pecat Tidak Dengan Hormat).

“Pertama, status hukum para tersangka cenderung berjalan lambat dan tidak transparan. Dari 5 tersangka yang diumumkan Bareskrim, dua bahkan masih berstatus DPO di luar negeri, tanpa informasi jelas tentang progres eksekusi red notice. Penetapan 4 pejabat Universitas Jambi sebagai tersangka pun tidak serta merta membuat publik tahu perkembangan berkasnya: apakah sudah P-21, apakah sudah masuk tahap pengadilan, atau masih menggantung di meja penyidik. Minimnya keterbukaan ini menimbulkan kecurigaan adanya tarik-menarik kepentingan,” Kata Sahrul.

Dari perspektif hukum, pola yang terbongkar masuk ke dalam kategori TPPO sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, di mana perekrutan, pengangkutan, dan penempatan seseorang dengan cara penipuan dan penyalahgunaan wewenang untuk tujuan eksploitasi adalah tindak pidana serius. Ironisnya, sebagian tersangka justru berasal dari lingkungan akademik – pihak yang seharusnya menjadi benteng moral dan penjaga integritas pendidikan.

“Kedua, perlindungan korban nyaris tidak terdengar. Narasi publik lebih sibuk menguliti “kampus mana saja yang terlibat”, sementara mahasiswa yang sudah bekerja di Jerman, kehilangan uang, atau bahkan trauma, tidak mendapat jaminan pemulihan yang jelas. Padahal, UU 21/2007 menekankan bahwa korban TPPO harus mendapat restitusi, rehabilitasi, serta perlindungan dari negara. Sayangnya, langkah ini tidak terlihat menonjol dalam penanganan,” Tambahnya.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sudah sejak Oktober 2023 mengeluarkan surat edaran untuk menghentikan program Ferienjob, namun faktanya sejumlah perguruan tinggi masih nekat mengirim mahasiswa. Hal ini menegaskan adanya kelalaian institusional dan potensi maladministrasi, bahkan jika terbukti ada transaksi keuntungan, maka dapat mengarah ke tindak korupsi.

“Ketiga, koordinasi antar lembaga tampak timpang. Kementerian Pendidikan sudah mengeluarkan surat edaran penghentian Ferienjob sejak 2023, namun tidak ada mekanisme sanksi terhadap perguruan tinggi yang melanggar. Bareskrim dan Polda Jambi bergerak sendiri-sendiri, sementara Kementerian Luar Negeri hanya memberi informasi umum tentang mahasiswa di Jerman. Tanpa orkestrasi kelembagaan yang jelas, kasus ini hanya akan jadi headline sesaat, bukan momentum perbaikan sistemik,” Ungkapnya.

Lebih jauh, negara pun tampak lamban. Penetapan tersangka memang sudah dilakukan, termasuk melalui mekanisme red notice Interpol, tetapi perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi fokus utama. Padahal, mahasiswa yang tereksploitasi membutuhkan kepastian hukum, ganti rugi, dan rehabilitasi sosial.

“penanganan kasus Ferienjob berpotensi berakhir sebagai proyek hukum yang berhenti di tengah jalan. Tersangka diumumkan, korban diabaikan, kampus berlindung di balik dalih “oknum”, dan negara melepas tanggung jawabnya. Jika pola ini terus dibiarkan, maka kita sedang melegitimasi impunitas — memberi pesan bahwa eksploitasi mahasiswa hanya akan ditindak setengah hati, tanpa keadilan tuntas,” Pungkasnya. (*)

By Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *