Thu. Dec 12th, 2024

Resiko Dongkrak PAD (Pajak dan Retribusi Daerah), Artikel ini telah dimuat di harian Gorontalo Post, Rabu 10 Agustus 2022 pada Halaman 5 Tajuk Persepsi.

Oleh: YUSRAN LAPANANDA

PENDAHULUAN

Di bulan Agustus, Pemda/TAPD & DPRD/Banggar membahas KUA/PPAS & Perubahan KUA/PPAS yang akan disepakati secara bersamaan pada minggu Kedua Agustus. Terlambat ke September tak ada larangan & tak bersanksi, tapi kepatuhan tahapan terabaikan. Namun demikian, jika kepala daerah & DPRD tidak menyepakati bersama rancangan KUA/ PPAS pada minggu Kedua Agustus, maka paling lama 6 minggu sejak rancangan KUA/PPAS disampaikan kepada DPRD, kepala daerah menyampaikan Ranperda tentang APBD kepada DPRD berdasarkan RKPD, rancangan KUA/PPAS yang disusun kepala daerah, untuk dibahas/ disetujui bersama antara kepala daerah dengan DPRD sesuai regulasi.

Pembahasan KUA/PPAS & Perubahan, dilakukan setelah melewati tahapan penyusunan & penetapan rencana pembangunan daerah, RKPD maupun Perubahan RKPD dengan bukti Perkada sudah ditetapkan & sudah beroleh surat fasilitasi dari Gubernur untuk kabupaten/kota & surat fasilitasi dari Mendagri untuk provinsi. Suatu keniscayaan jika KUA/PPAS dibahas tanpa Perkada tentang RKPD/Perubahan RKPD & tanpa surat fasilitasi.

KUS/PPAS merupakan kebijakan awal dalam penyusunan RAPBD. Setelah KUA/PPAS disepakati oleh Kepala Daerah dengan DPRD, dilanjutkan dengan penyusunan RKA-SKPD, selanjutnya perancangan Perda tentang APBD & Perkada tentang Penjabaran APBD.

Dalam pembahasan, Banggar dipastikan abaikan apakah KUA/PPAS maupun Perubahan KUA/PPAS disusun berdasarkan RKPD/Perubahan RKPD yang ditetapkan dengan Perkada & sudah beroleh fasilitasi?. Terpenting Pokir (pokok-pokok pikiran) DPRD, dipastikan terakomodir & tercantum anggarannya dalam KUA/PPAS maupun Perubahan. Jika tidak, PAD menjadi sasaran “amukan” hingga Pokir terakomodir.

Mengapa PAD saja?. PAD adalah anggaran pendapatan berupa “dana segar”. PAD adalah anggaran fleksibel selain DAU, DBH & bagi hasil. Dana segar atau anggaran fleksibel adalah pendapatan yang bisa digunakan untuk belanja apa saja & belum terkavling kedalam belanja yang sudah diatur Pemerintah Pusat melalui beragam regulasi.

DAU pun pemanfaatanya terkavling kedalam persentase anggaran belanja Pemerintah. DAU terkavling kedalam belanja pegawai 30% di luar tunjangan guru, ADD 10%, belanja modal 40%, belanja kesehatan 10%, belanja pendidikan 20%, belanja pengawasan/inspektorat, belanja COVID-19, & belanja lainnya. Juga, pendapatan transfer pemerintah pusat berupa DID (dana insentuf daerah) & dana perimbangan DAK (fisik/non fisik) terkavling pemanfaatannya.

Sehingga anggaran pendapatan yang bisa “diutak-atik” & “diacak-acak” untuk “mengejar” belanja yang melimpah hanyalah PAD, PAD bisa didongkrak target penerimaannya dengan berpijak pada hitungan potensi diatas kertas saja, tanpa memperhitungkan capaian realisasi tahun sebelumnya & kondisi ekonomi masyarakat pasca serangan COVID-19. Terealisasi atau tidak, urusan belakangan. Jeritan perangkat daerah/ASN selaku pemungut PDRD atas tingginya target penerimaan, terabaikan. Ibarat pepatah, “anjing menggonggong, kafilah berlalu”.

Jika belanja disusun lebih tinggi dari pendapatan (besar pasak dari pada tiang), seolah-olah dibuat berimbang & didongkrak dari target PAD termasuk PDRD & mustahil tercapai, maka sesungguhnya anggaran pendapatan & belanja dalam keadaan defisit. Jika itu yang terjadi, “kebangkrutan” menanti, insentif kepala daerah & perangkat daerah/ASN tak terbayar, Pokir tergusur, belanja pegawai (hak-hak pegawai) tereliminir, endingnya adu kuasa sebagai penentu.

STRUKTUR PENDAPATAN DAERAH

Dikalangan penyelenggaran pemerintah daerah, kepala daerah, pejabat pimpinan tinggi maupun pejabat administrasi, DPRD hingga kalangan masyarakat masih sangat rabun dan kabur soal struktur pendapatan daerah. Hingga investasi atau penanaman modal pun dikira pendapatan daerah. Investasi atau penanaman modal bukanlah pendapatan daerah, bukan pula PAD.

Struktur pendapatan daerah sudah diatur dalam beberapa regulasi, namun referensi yang digunakan untuk mengurai struktur pendapatan daerah dalam tulisan ini adalah PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Sebelumnya, dijelaskan dalam pengelolaan keuangan daerah dikenal pendapatan daerah & penerimaan daerah. Kedua frasa ini berbeda pemaknaannya. Jika penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah (pendapatan daerah & penerimaan pembiayan daerah), sedangkan pendapatan daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang berkenaan, meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah & penerimaan lainnya yang sesuai regulasi diakui sebagai penambah ekuitas yang merupakan hak daerah dalam 1 tahun anggaran.

Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri atas: (a). Pendapatan Daerah; (b). Belanja Daerah; (c). Pembiayaan Daerah. Sedangkan Pendapatan Daerah terdiri atas: (a). PAD (pendapatan asli daerah); (b). Pendapatan transfer; (c). Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.

Pertama, PAD, meliputi: (a). Pajak daerah; (b). Retribusi daerah; (c). Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (hasil penyertaan modal); dan (d). Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yakni: hasil penjualan BMD yang tidak dipisahkan; hasil pemanfaatan BMD yang tidak dipisahkan; hasil kerja sama daerah; jasa giro; hasil pengelolaan dana bergulir; pendapatan bunga; penerimaan atas tuntutan ganti kerugian Keuangan Daerah; penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat penjualan, tukar-menukar, hibah, asuransi, dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atau dari kegiatan lainnya merupakan Pendapatan Daerah; penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; pendapatan denda pajak daerah; pendapatan denda retribusi daerah; pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; pendapatan dari pengembalian; pendapatan dari BLUD; dan pendapatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kedua, Pendapatan transfer, meliputi: (1). Transfer Pemerintah Pusat, yani: (a). Dana perimbangan; (b). DID; (c). Dana otonomi khusus; (d). Dana keistimewaan; dan (e). Dana desa. (2). Transfer Antar-Daerah, yakni: (a). Pendapatan Bagi Hasil; dan (b). Bantuan Keuangan. Dana perimbangan terdiri atas: (a). Dana Transfer Umum, yakni DBH dan DAU; dan (b). Dana Transfer Khusus, yakni DAK Fisik & Non Fisik.

DBH bersumber dari: pajak; dan sumber daya alam. DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: pajak bumi dan bangunan sektor perkebunan, pertambangan, dan perhutanan; pajak penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21; dan cukai hasil tembakau, sesuai dengan regulasi. DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran ijin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan, dan dana reboisasi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan; penerimaan pertambangan mineral dan batubara yang berasal dari penerimaan iuran tetap dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan; penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan; penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan; penerimaan dari panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagian Pemerintah Pusat, iuran tetap, dan iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan; dan penerimaan perikanan yang berasal dari pungutan pengusaha perikanan dan pungutan hasil perikanan yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.

Untuk transfer antar-daerah yakni pendapatan bagi hasil merupakan dana yang bersumber dari Pendapatan Daerah yang dialokasikan kepada Daerah lain berdasarkan angka persentase tertentu sesuai dengan ketentuan regulasi. Pendapatan bagi hasil merupakan bagi hasil pajak kendaraan bermotor yang dibagikan oleh Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota di wilayahnya. Sedangkan bantuan keuangan merupakan dana yang diterima dari Daerah lainnya baik dalam rangka kerja sama daerah, pemerataan peningkatan kemampuan keuangan, dan/atau tujuan tertentu lainnya, yang terdiri atas: bantuan keuangan dari Daerah provinsi; dan bantuan keuangan dari Daerah kabupaten/kota.

Ketiga, Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah meliputi: hibah; dana darurat; dan/atau lain-lain pendapatan sesuai dengan ketentuan regulasi. Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lain, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat untuk menunjang peningkatan penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dana darurat merupakan dana yang berasal dari APBN yang diberikan kepada Daerah pada tahap pasca bencana untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana yang tidak mampu ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD sesuai dengan ketentuan regulasi.

PAJAK DAERAH & RETRIBUSI DAERAH

Diantara penyelenggara pemerintah daerah, kepala daerah, pejabat pimpinan tinggi maupun pejabat administrasi, ASN lainnya hingga DPRD & masyarakat salah memaknai Pajak Daerah & Retribusi Daerah (PDRD) masih dapat digali atau masih dapat diperluas atau ditambah jenis PDRD. Namun, jika diintesifikan, dioptimalkan & dimaksimalkan nilai capaian PDRD, itu benar.

Sesungguhnya jenis PDRD sudah diatur secara limitatif, terbatas pada jenis PDRD yang sudah ditentukan dalam regulasi yang diterbitkan Pemerintah Pusat. Pemda tak bisa lagi memungut/menagih & membuat kebijakan lainnya selain yang sudah diatur dalam regulasi. Untuk jenis PDRD yang bisa dipungut oleh provinsi/kabupaten/kota sudah limitatif diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD, terakhur diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Pertama, Pajak daerah. Jenis pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri atas: (a). PKB (pajak kendaraan bermotor); (b). BBNKB (bea balik nama kendaraan bermotor); (c). PAB (pajak alat berat); (d). PBBKB (pajak bahan bakar kendaraan bermotor); (e). PAP (pajak air permukaan); (f). Pajak Rokok; dan (g). Opsen Pajak MBLB (pajak mineral bukan logam dan bantuan). Sedangkan pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri atas: (a). PBB-P2 (pajak bumi dan bangunan Perdesaan dan perkotaan); (b). BPHTB (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan); (c). PBJT (pajak barang dan jasa tertentu); (d). Pajak Reklame; (c). PAT (pajak air tanah); (f). Pajak MBLB (pajak mineral bukan logam dan bantuan); (g). Pajak Sarang Burung Walet; (h). Opsen PKB (pajak kendaraan bermotor); dan (i). Opsen BBNKB (bea balik nama kendaraan bermotor).

Kedua, Retribusi daerah. Sementara ini jenis retribusi yang bisa dipungut Pemda adalah jenis retribusi: (1). Retribusi Jasa Umum; (2). Retribusi Jasa Usaha; dan (3). Retribusi Perizinan Tertentu. Jenis retribusi lainnya dapat ditambah, berdasarkan penetapan dalam PP lebih lanjut.

Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum, meliputi: (a). Pelayanan kesehatan; (b). pelayanan kebersihan; (c). pelayanan parkir di tepi jalan umum; (d). pelayanan pasar; dan (e). pengendalian lalu lintas.

Untuk jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi: (a). penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya; (b). penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan; (c). penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan; (d). penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila; (e). pelayanan rumah pemotongan hewan ternak; (f). pelayanan jasa kepelabuhanan; (g). pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga; (h). pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air; (i). penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan (j). pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan, jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi: (a). persetujuan bangunan gedung; (b). penggunaan tenaga kerja asing; dan (c). pengelolaan pertambangan rakyat.

RESIKO DONGKRAK PAD (PAJAK & RETRIBUSI DAERAH)

Dalam menyusun & membahas KUA/PPAS & APBD, Pemda/TAPD dan/atau DPRD/Banggar, tak menengok kemampuan fiskal daerah. Nafsu besar tenaga kurang. Kepentingan & kebutuhan lebih dominan, mengabaikan performance/kinerja keuangan daerah. Laga & adu kepentingan & kebutuhan terjadi. DPRD berkepentingan atas Pokir yang dijamin dengan regulasi tanpa batas minimal/maksimal. Pemda dengan kepentingan & kebutuhannya. Laga seputar minimnya ketersediaan anggaran pendapatan dengan sejuta sebab. DAK, DID, & DAU terkavling kedalam kepentingan Pemerintah, & sebab lainnya.

Untuk pemenuhuan kepentingan/kebutuhan bersama, terpaksa mendongkrak PAD. DAU, DBH, bagi hasil, tak dapat “diutak-atik”. Tinggal PAD yang bisa “diacak-acak” khususnya PDRD. Tapi mendongkrak PAD penuh resiko.

Apa saja resiko jika PAD khususnya PDRD didongkrak & tak tercapai?. Pertama, performance & kinerja keuangan daerah terlebih arus kas terganggu. Realisasi belanja terseok-seok akibat realisasi pendapatan tak sesuai dengan target, akibat kebutuhan belanja lebih besar dari pendapatan. Uang pada kas daerah kosong, habis terpakai untuk kebutuhan belanja yang menumpuk & antri, akibatnya jasa giro & pendapatan bunga tak tercapai.

Kedua, beresiko pada arus kas terganggu diakhir pelaksanaan APBD atau jelang perubahan APBD, pendapatan & belanja timpang, dan capaian pendapatan jauh dari belanja, maka dipastikan Pokir DPRD, tergusur, terpinggirkan, & tak tertagih hingga terblokir.

Ketiga, jika PPKD selaku BUD “nakal”, dana SiLPA aktif/earmark atau sisa transfer ke daerah pada kas daerah yang sudah ditentukan pengunaannya tergerus/digunakan untuk belanja tidak berkesesuaian, padahal PMK Nomor:192/PMK.07/2016 masih berlaku & belum dicabut.

Keempat, jika antara target PDRD dengan realisasi jauh dari harapan, tak sesuai target persentase yang diatur dalam PP Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian & Pemanfaatan Insentif Pemungutan PDRD, maka Insentif Kepala Daerah & ASN pemungut PDRD tak terbayar. Sebab target & pembayaran insentif disesuaikan dengan target.

Kelima, jika pendapatan daerah disusun dengan target yang sangat tinggi tidak berkesesuaian dengan kemampuan fiskal daerah, tidak memperhatikan realisasi penerimaan tahun-tahun sebelumnya, & kemampuan bayar masyarakat, dipastikan banyak anggaran belanja terpangkas/tak tertagih, korbannya adalah hal-hak ASN, seperti TPP/honor tenaga honorer.

PENUTUP

Pemda/TAPD & DPRD/Banggar dalam membahas anggaran belanja agar memperhatikan anggaran pendapatan. Anggaran pendapatan harus disusun secara cermat. Bagi saya, menyusun pendapatan daerah khususnya PAD (PDRD), terkonstruksi kedalam 5 strata. Mulai dari strata pesimis, normatif, realistis, optimis, & konservatif (kolot). Menyusun PAD (PDRD) lebih tepat menggunakan strata normatif saja atau paling tidak realistis. Realistis untuk dicapai bahkan realistis dilampaui. Jangan berkawan dengan strata optimis apalagi konservatif, pilihan itu bagaikan kita berjudi dengan penerimaan daerah.

Selain itu, jika PAD (PDRD) disusun dengan pendekatan konservatif, target/anggaran pendapatan “mengejar” belanja, hal ini beresiko pada performance/kinerja keuangan daerah, arus kas/kas daerah terganggu & manajemen kas menjadi manajemen copot sana, copot sini & sikat sana, sikat sini.(*)

Editor : Redaksi

By Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Hubungi Kami