Siklus-Indonesia.Id, Gorontalo – Di tengah dinamika Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang semakin kompleks, satu hal yang seharusnya menjadi pegangan moral dan struktural kita bersama justru kerap diabaikan. Konstitusi HMI. Baik kader maupun senior, banyak yang terjebak dalam rutinitas aktivitas organisasi tanpa pernah sungguh-sungguh memahami apa yang menjadi fondasi gerak kita. Ironisnya, sebagian senior yang vokal di forum-forum malah tak memahami isi Mukadimah, Anggaran Dasar, atau Tafsir Tujuan HMI secara utuh.
Pertanyaannya sederhana: bagaimana bisa kita memperjuangkan nilai, kalau kita sendiri tidak memahami dasar perjuangannya?
Banyak kader hari ini lebih fasih menyebut nama-nama tokoh HMI atau isu politik, tapi gugup dan gagap ketika ditanya tentang landasan yang termaktub pada Mukadimah atau Tafsir Independensi. Bahkan ada yang ikut Latihan Kader tanpa pernah membaca naskah konstitusi. Ini bukan hanya kelalaian, tapi pengkhianatan intelektual terhadap identitas kita sebagai insan akademis, pencipta, dan pengabdi.
Lebih mengecewakan lagi ketika ada senior yang menjadikan konstitusi sebagai simbol formalitas. Mereka aktif di ruang strategis, memimpin forum, namun sering kali menyimpang dari asas dan tujuan organisasi. Bukankah Mukadimah jelas menyebut, bahwa HMI memperjuangkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT? Lalu mengapa kita justru sibuk membangun jaringan kekuasaan, tetapi abai pada nilai?
Jika HMI ingin tetap relevan dan bermartabat, maka membaca, memahami, dan mengamalkan konstitusi adalah keharusan, bukan pilihan. Kita tidak butuh kader yang pandai berorasi, tetapi buta terhadap dasar ideologis organisasi. Kita tidak butuh senior yang sibuk membangun “dinasti pengaruh”, tetapi lupa membina kader yang berbasis nilai.
“HMI BUKAN SEKEDAR JARINGAN, TAPI GERAKAN NILAI”
HMI bukan ruang basa-basi politik. HMI adalah rumah ideologis yang dibangun dengan prinsip keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan. Tanpa konstitusi sebagai pedoman utama, maka himpunan ini hanya akan menjadi organisasi tanpa arah.
Kami tidak anti kritik, Kami hanya ingin mengingatkan, Jangan bicara tentang “tujuan HMI” jika kita sendiri tidak paham apa itu Tafsir Tujuan. Jangan bicara soal “kaderisasi ideologis” jika konstitusi hanya jadi bacaan sambil lalu di forum pengkaderan.
Konstitusi HMI bukan teks mati. Ia adalah kompas moral dan intelektual yang seharusnya mengarahkan langkah kita. Saat kader dan senior mulai melupakan konstitusi, saat itulah HMI kehilangan arah. Maka, tugas kita hari ini bukan hanya mengkritik, tapi juga mengajak: Mari kembali pada konstitusi. Mari kembali pada nilai. Mari kembali pada HMI yang kita cita-citakan. (S)