Siklus-Indonesia, Jakarta – Dalam beberapa bulan terakhir, Gorontalo menjadi sorotan nasional akibat meningkatnya persekusi terhadap aktivis dan mahasiswa. Kekerasan terbaru yang menimpa Harun Alulu, Koordinator BEM Nusantara Provinsi Gorontalo, menandai titik kritis: untuk pertama kalinya di daerah ini, pemukulan terhadap aktivis terjadi di luar arena demonstrasi. Harun diserang oleh orang tak dikenal menggunakan balok kayu saat malam hari, setelah menghadiri kegiatan organisasi.
Kekerasan ini menciptakan preseden kelam bagi demokrasi lokal dan memperlihatkan bagaimana ruang berekspresi di Gorontalo semakin menyempit. Di era kepemimpinan Kapolda saat ini, jaminan terhadap hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat tampak semakin rapuh. Alih-alih menciptakan lingkungan yang aman bagi partisipasi sipil, aparat justru dinilai gagal mencegah gelombang intimidasi dan kekerasan terhadap kelompok kritis.
Lebih ironis lagi, Pemerintah Provinsi Gorontalo seolah memilih diam di tengah situasi ini. Tidak ada pernyataan tegas, langkah pengamanan tambahan, ataupun jaminan dari pejabat publik bahwa kekerasan terhadap aktivis tidak akan terulang. Ketika pemerintah daerah tak menunjukkan keberpihakan pada nilai-nilai demokrasi, publik mulai mempertanyakan komitmen mereka dalam menegakkan kebebasan sipil dan melindungi warganya.
Situasi ini mengingatkan pada pola otoriterisme yang pernah menjadi ciri khas rezim Orde Baru: ketika kritik dianggap sebagai musuh, dan suara-suara perlawanan dibungkam dengan kekerasan. Saat negara, melalui aparat dan pemerintahannya, tidak lagi mampu menjamin keamanan bagi warga yang bersuara, maka sesungguhnya negara telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya.
Beberapa elemen masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa mulai menyuarakan keprihatinan mendalam. Mereka menilai bahwa Gorontalo tengah memasuki fase darurat kebebasan sipil. Jika dibiarkan, kekerasan terhadap aktivis akan menjadi pola, bukan insiden. Dan ketika rakyat takut untuk bersuara, itulah saat di mana demokrasi benar-benar berada dalam bahaya.
Direktur Motoliango Literasi Alam Darmawan Ilolu S.Kom meminta agar aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan ini
“Saya mendesak Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk tidak tinggal diam. Sebab diam di tengah persekusi, adalah bentuk persetujuan terhadap kekerasan itu sendiri,” Pinta Alam Darmawan. (Red)