SIKLUS-INDONESIA.ID, MANADO : Pemerintah Kota (Pemkot) Manado diminta lebih peduli terhadap beberapa situs budaya yang cenderung terlantar, mulai terhimpit bangunan ataupun perlakuan oknum aparat yang melecehkan.
Para pegiat budaya terus berupaya dengan inisiatif sendiri, melakukan pelestarian warisan leluhur Minahasa itu, antara lain melalui ritual upacara sebagai penghormatan kepada pendahulu.
Namun, sangat disayangkan, seorang ketua lingkungan di Kelurahan Tikala Ares melecehkan para pengiat adat yang datang melaksanakan ritual di situs budaya Watu Sumanti yang terletak di Kelurahan Tikala Ares, Kota Manado.
Peristiwanya terjadi beberapa lalu saat para pengiat budaya akan melakukan ritual mereka dan ditegur ML, ketua lingkungan setempat.

Menurut pengakuan Tonaas Petrus Kapele, salah seorang pegiat budaya, ML melarang ritual karena di situ akan dilaksanakan ibadah Pria Kaum Bapa.
“Ibu ini juga mengatakan bahwa di zaman modern saat ini kok masih ada yang begini. Perkataan ketua lingkungan ini sangat melukai hati dan integritas para pengiat adat budaya,” sesal Tonaas Petrus Kapele yang juga Tonaas di Waraney Waha.
Petrus dan pegiat budaya Minahasa lainnya sangat menyesalkan pernyataan ketua lingkungan tersebut, karena situs ini sudah ada jauh sebelum maraknya pemukiman.
Senada dengan Tonaas Petrus Kapele, Ketua MATA (Masyarakat Adat Tou Ares), Paul Parera, juga menyayangkan sikap arogan ML itu, di Situs Cagar Budaya yang telah menjadi aset Pemkot Manado melalui Dinas Kebudayaan yang dilindungi Undang Undang nomor 11 tahun 2010.
“Harusnya ketua lingkungan yang merupakan bagian dari Pemkot Manado tahu dan memahami bahwa cagar budaya ini dilindungi Undang Undang. Kami minta Tim Pengawas Cagar Budaya turun melihat keadaan Situs Cagar Budaya Watu Sumanti ini. Pak Walikota harus menindak tegas ketua lingkungan lingkungan 1 ini,” beber Paul Parea dan Tonaas Petrus Kapele.
Menurut keduanya okum ketua lingkungan itu telah meresahkan Masyarakat Adat Minahasa, sehingga perlu adanya punishment sebelum masyarakat adat turun ke jalan karena perkataannya yang telah melukai hati Para Legiat Adat.
“Apalagi oknum itu telah menuduh melalui perkataannya bahwa keberadaan Watu Sumanti sebagai penyebab terjadinya bencana di Manado, karena situs itu adalah berhala. Ini sangat merendahkan kami,” tambah Paul dan Petrus.
Saat dikonfirmasikan mengenai ucapannya, tentang ujaran kebencian terhadap Adat istiadat Tou Minahasa, tutur keduanya, bukan menyadari kesalahan ucapannya tapi justru ML mengatakan:
“Peraturan kan dibuat untuk dilanggar.” “Suatu kalimat yang seharusnya tidak boleh diucapkan seorang aparatur pemerintahan,” tambah Paul Parera.(dkg)